ini adalah kisah nyata riwayat berdirinya Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur.
Artikel ini saya ambil dari sumber terpercaya yaitu majalah Tempo online.Diceritakanlah seorang Kiai muda yang bernama Hasyim Asyhari yang bercita-cita membangun sebuah pesantren di sebuah kawasan yang notabene sebagai lembah hitam,sarangnya kemaksiatan penuh kebathilan seperti perjudian,mabuk,perzinahan,dan surga bagi para penyamun atau preman jika saat sekarang.
Inilah kisah lengkapnya:
TEKAD Hasyim Asy'ari
sudah bulat. Ia akan
membangun pondok
pesantrennya sendiri.
Setelah berzikir dan
berdoa, ia pun
memilih kawasan
Tebuireng, Jombang,
untuk mewujudkan
cita-citanya itu. Pada
1899-saat itu umurnya
28 tahun-Hasyim
memboyong
keluarganya, pindah
dari Nggendang,
Jombang, tempatnya
selama ini bermukim,
menuju Tebuireng.
Niat ini awalnya
ditentang semua
saudara dan teman-
teman dekatnya.
Bahkan ia diejek dan
ditertawai kiai-kiai
lain. Mereka tahu
Tebuireng adalah
daerah yang
berbahaya dan tanpa
agama. Orang
menyebut Desa
Tebuireng sebagai
desa tanpa
perikemanusiaan.
Penduduk di sana
punya hobi merampok
dan lokasi pelacuran
bertebaran di
sepanjang jalan.
"Menyiarkan agama
Islam ini artinya
memperbaiki
manusia," kata
Hasyim kepada yang
menentangnya kala
itu.
Desa Tebuireng
menjadi kawasan
"jahiliah" karena ada
pabrik gula warisan
Belanda. Para
buruhnya tinggal di
sekitar pabrik.
Mereka gemar
berjudi, hura-hura di
pasar malam, dan
keluar-masuk tempat
pelacuran yang
tumbuh subur.
Penyamun juga
berdatangan ke
tempat ini,
menyatroni para
buruh berkantong
tebal atau memalak
mereka yang keluar-
masuk tempat
pelacuran.
Hasyim muda tetap
nekat. Ia mendirikan
pondok yang hanya
terletak sekitar
seratus meter di
seberang pabrik.
Awalnya ia
mendirikan sebuah
pondok beratap
rumbia. Hanya
berukuran 6 x 8 meter
persegi, pondok itu
terbagi atas dua
ruangan. Hanya dua
santri yang berguru di
situ pada mulanya.
Beberapa bulan
kemudian, jumlah
santri bertambah jadi
28 orang.
Meski lumayan
banyak, para santri
itu tak bisa hidup
tenang. Selama dua
tahun pertama,
mereka tidur
berdesakan di dalam
bilik-bilik dan tak
berani merapatkan ke
tubuh ke dinding yang
terbuat dari gedek
(anyaman bambu).
Saat itu sering terjadi
"perang kecil" antara
santri dan penduduk
yang tak suka kepada
mereka. Para
penduduk, terutama
di malam hari, sering
menyerang mereka
dengan menusukkan
tombak dan parang
dari balik dinding.
"Para begundal saat
itu ganas sekali," kata
Imam Tauhid, 87
tahun, salah satu
pelayan Kiai Hasyim
yang kini masih hidup,
kepada Tempo. Imam
kini bermukim di
Dusun Balongjambe,
Pare, Kediri.
Perlahan-lahan,
perang ini dimenangi
Hasyim dengan para
santrinya. Menurut
Imam, satu per satu
perampok itu angkat
kaki. Lokasi pelacuran
dan judi pun mereka
gusur. Pesantren
Tebuireng mulai
kebanjiran santri
hingga mencapai 200
orang. Pada 6
Februari 1906,
pesantren ini
mendapat pengakuan
dari pemerintah
Hindia Belanda.
Pada zaman revolusi,
Pesantren Tebuireng
pernah diserbu
Belanda karena
dianggap
membangkang.
Mahmad Baedlowi,
salah seorang cucu
Hasyim, bercerita
kepada Tempo,
pesantren itu sempat
berkali-kali diserang
tentara Belanda.
Keluarga Hasyim dan
para santri terpaksa
mengungsi. Belanda
bahkan pernah
membangun markas
tentaranya di sisi
utara pesantren.
Kendati pesantren
dibombardir pasukan
Belanda, bisa dibilang
mortir-mortir Belanda
tak pernah
mengenainya. "Bom
mereka selalu
meleset dan hanya
meledak di sekitar
pesantren," kata pria
73 tahun itu.
Setelah seabad lebih
tumbuh, Pesantren
Tebuireng kini
berkembang pesat.
Tebuireng menjadi
pelopor pesantren
modern. Pesantren
yang kini berdiri di
atas lahan 12 hektare
itu terbagi atas tiga
kompleks bangunan
yang berdekatan:
asrama putra-putri,
gedung SMP dan SMA,
serta sebuah
universitas. Jumlah
santrinya kini sekitar
1.500 orang.
Tiga pekan lalu, saat
Tempo mengunjungi
Tebuireng, terlihat
pesantren legendaris
itu tengah dibenahi.
Sejumlah gedung
dipugar. Menurut
Salahuddin Wahid,
salah satu putra
Wahid Hasyim yang
kini memimpin
pesantren itu,
bangunan asli
pesantren tetap
dipertahankan. Salah
satu bangunan yang
berkali-kali direnovasi
tapi tetap
dipertahankan
bentuknya adalah
masjid yang dibangun
Hasyim Asy'ari. "Kami
ingin pesantren ini
terus berdiri hingga
kiamat nanti," kata
kiai yang biasa disapa
Gus Solah itu.
SELESAI....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar